Sabtu, 13 Februari 2010

Sekarang kita sudah berada di penghujung kuliah
Kita akan mulai disibukan dengan urusan-urusan yang membuat lelah
Berkumpul bersama-sama akan menjadi hal yang susah
Untuk itu..blog ini adalah sebuah wadah..
di saat kita tidak lagi satu almamater…
status social kita akan berbeda
di saat kita tidak lagi satu almamater…
tempat kita akan berbeda
di saat kita tidak lagi satu almamater…
entah di mana kita akan berada
di saat kita tidak lagi satu almamater…
blog ini menyatukan kehidupan kita yang berbeda
jagalah ikatan persahabatan kita
jangan terputus karena sahabat dan kehidupan baru
jagalah komunikasi kita
jangan terputus karena kesibukan, jarak dan waktu
blog ini milik kita bersama
blog ini kita isi bersama
blog ini kita ingat selamanya
blog ini kampus kita di dunia maya
semoga kita akan kembali bersama
setelah berpisah sekian lama
semoga kesuksesan akan menyertai kita
setelah kuliah sekian lama

*yus

Psikologi Eksperensial

Menurut psikoterapi eksitensial, seorang meniciptakan dan mengubah dirinya dalam kehidupan sekarang ini. Masa lalu seseorang dan “perlengkapan internal”-nya tidak sepenuhnya menentukan hidupnya. Manusia bukanlah mesin yang hanya bekerja karena kebutuhan yang metematis. Dalam terapi, relasi yang dihidupkan oleh dua orang melampaui struktur-struktur. Pribadi-pribadi (person) merupakan eksistensi dan bukanlah definisi-definisi. Kecemasan bukanlah penyakit melainkan kemungkinan-kemungkinan hidup yang dihindari. Solusi-solusi tidak terletak dimasa lalu, tidak pula didalam diri seseorang, melainkan terletak dalam hidup yang secara radikal terbuka bagi pilihan-pilihan.
Psikoterapi eksperensial berkaitan erat dengan pengalamn konkret yang segera. Kindera seseorang terhadap pengalaman segera bukanlah emosi, perkataan, gerakan-gerakan otot, melainkan perasaan langsung terhadap kompleksitas situasi-situasi dan kesulitan-kesulitan tersebut.


A. Sejarah
Kirkegaard, Dilthey, Husserl, Heidegger, Sartre dan Merleau Ponty merupakan filsuf-filsuf eksistensialisme.
Dilthey (1833-1911). Wilhem Dilthey (1961) memberontak pandangan manusia dalam ilmu-ilmu pengetahuan matematis diakhir abad ke-19. dia meyakini bahwa proses kehidupan itu sendiri sangat terorganisasi dan bahwa logika hanya memperoleh dan menggunakan beberpa pola yang mengatur kehidupan itusendiri. Jadi, ilmu pengetahuan berasal dari kehidupan dan tidak bisa mengklaim untuk menjelaskan serta mereduksi kehidupan menjadi beberpa pola kecil yang dipergunakannya.
Edmund Husserl (1859-1938) kemudian mencoba mengantar pikiran berbasis baru dengan meenolak teori-teori dan spekulasi-spekulasi, serta membiarkan konsep-konsep muncul langsung dari penglaman yang sebenarnya dari orang itu. Dalam suatu basis eksperiensial penegasan-penegasan akan bermunculan langsung dari pengalaman, dari pengalaman, dan semua orang harus bisa mengeceknya dengan pengalaman mereka sendiri. Cara mendasarkan pikiran ini, oleh Husserl disebutkan “fenemologi”.
Martin Heidegger (lahir 1889; 1960-1967) memulai filsafatnya dengan fakta bahwa apa pun yang dialami seseorang pasti dalam suatu konteks, dalam suatu dunia. Orang-orang selalu “terlempar” ke dalam situasi waktu mereka mulai berpikir. Menurutnya pengalaman itu “pada dasarnya bersifat historis” yaitu, hidup dengan situasi-situasi dan pengalaman yang terbentuk secara kultural, mempunyai suatu latar belakang yang panjang, meliputi pikiran, pembicaraan dan karya generasi-generasi masa lalu. Karena itu, seseorang tidak hanya membuat sesuatu yang dikehandaki dari situasi atau pengalaman apa pun, meskipun tidak ada manusia hidup yang tertutup.
Buber (1878-1965). Martin Buber (1948), dengan cara yang sama menekankan proses relasi konkret, yang berbeda dengan mengetahui sesuatu.
Jean-Paul Sarter ( Lahir 1905; 1956), menamakan proses kehidupan, yang tidak bisa direduksi dengan definisi-definisi logis, sebagai “eksistensi”. Dia membandingkan eksistensi dengan “esensi”, kata filsafat klasik yang beraryi definisi. “Eksistensi menadului esensi”, adalah sebuah slogan eksistensialis yang berarti bahwa manusia-manusia itu menciptkan definisi-definisi, dan karena itu tidak pernah bisa direduksi menjadi definisi belaka. Sartre menulis tentang manusia-manusia senantiasa sebagai being (ada) adan non-being (tiada), definisi atau tipe person atau klasifikasi apa pun. Tak seorang pun hanya sebagai seorang pelayan atau seorang homoseks atau apa pun keadaan bertimbang dari hidup manusia. Meskipun demikian, titik persoalannya bukanlah dalam definisi terdapat perubahan yang konstan, tetapi menciptakan keadaan berimbang yang kokoh.
Merleau-Ponty (1908-1961) berpendapat bahwa tubuh yang hidup mempunyai karakteristik-karakteristik yang oleh para filsuf kuno dikaitkan dengan pengalaman dan eksistensi. Tubuh dipahami tidak saja dengan cara yang dipahami oleh pdikolog, melainkan juga yang secara fungsional menganai “maksud” peristiwa-peristiwa eksternal yang berhubungan, meskipun secara fungsional belumlah persisi. Sekali lagi apa yang diingat secara luas dari karya Merleau-Ponty adalah penegasan negatif, pengalaman adalah “samar”, ambigu, yang belum persis seperti konsep-konsep ilmiah.
Sebagai metode terapi, psikoterapi eksperiensial harus menyebutkan Whitaker, Warkentin dan Malone sebagai perintis-perintisnya, demikian juga Otto Rank, Jesse Taft, Frederick Allen, Carl Ransom Rogers.

B. Permulaan dan Perkembangan
L. Binswanger (1958;1967) mengembangkan Daseinsanalyse, yang bisa diterjemahkan sebagai analisa eksistensial, atau analisa tentang kondisi manusiawi seseorang. Menurut kemunculannya dari diskusi Heidegger tentang kasih sayang, kematian, pilihan, rasa bersalah, maka penekanannya adalah untu “berpegang teguh pada apa yang bersifat manusia.”
Medard Boss (1963) menggiring analisa eksistensial lebih jauh dan mengartikulasikan pola-pola malfunsi interpersonal yang spesifik, sekali lagi dengan suatu penekanan terhadap psikoterapi interpersonal.
Rollo May (May et al., 1958;1967) adalah pendiri psikoterapi eksistensial di Amerika Serikat. Dengan menekankan kemungkinan –kemungkinan seseorang bertemu langsung dengan kehidupannya sendiri, dan tantangan-tantangan yang tersembunyi di dalam apa, yang mula-mula, tampak sebagai kecemasan, May dengan berani menegaskan kembali kebebasan pribadi manusia dihadapan faktor-fkator determinis palsu yang tampaknya memaksa seseorang untuk menarik diri, serta menjauhi kehidupan.
Filsafat eksperiensial (Gendlin, 1962;1969) bermula dimana filsuf-filsuf eksistensialis telah berangkat, yakni dengan problem bagaiman simbol-simbol (pikiran-pikiran, pembicaraan, simbol-simbol lain) dihubungkan dengan, atau didasarkan pada proses mengalami yang konkret (concrete experiencing). Gendlin mengembangkan suatu sistem filsafat tentang relasi-relasi antara perasaan dan pikiran.
Bagi psikoterapi, sangatlah penting untuk menjelaskan bagaimana seseorang mengenal otentitas, dan bagaimana memunculkannya kedalam diri sendiri dan diri sendiri lain. Jika pikran dan tindakan yang otentik adalah “pembinaan”, sehingga apa yang dikatakan dan dilakukan tidak sepenuhnya dibentuk sebelumnya dalam pengalaman, lalu bagaimana orang bisa mengetahui sesuatu yang otentik, sesuatu yang “berdasarkan” pengalaman? Bagaimanan yang orang bisa membedakan pengalaman dengan pengungkapan? Jenis pembinaan lebih lanjut mana yang berdasarkan pengalaman, dan mana yang tidak otentik.
Metode pemikiran eksperiensial membiarkan orang memperoleh kekuatan yang melambangkan gaya-pegas, namun kembali lagi pada “makna eksperiensial yang terasakan” yang hendak diungkapkan seseorang. Seseorang tidak melepaskan pengalaman seolah-olah suatu konseptualisasi bisa menggantikannya. Memberi simbol, dalam pandangan ini, tidak memberikan suatu gambaran representasioanal tentang apa yang dialami, melainkan ia sendiri merupakan pengalaman lanjutan. Terdapat jenis-jenis simbolisme yang bisa dibedakan.teori perubahan kepribadian dari Gendlin (1964), yang sebagian akan diperkenalkan belakangan, secara langsung berasal dari filsafat eksperiensial (Gendlin, 1962) dan berhubungan dengan langkah-langkah proses psikoterapi berikut ini: memberikan fokus pada arti yang langsung terasakan; membiarkan langkah-langkah perasaan dan kata-kata munsul darinya; dan “pergeseran eksperiensial” berikutnya dalam situasi konkret secara langsung mengacu pada arti yang terasakan. Interaksi terapis dengan klien, baik verbal maupun non-verbal juga dipandang sebagai meneruskan pengalaman klien., dan dalam pengertian itu memberi simbol lebih lanjut padanya.

C. Status Psikoterapi Eksperiensial
Sekarang psikoterapi eksperiensial meliputi terapis yang berpikir dalam istilah-istilah eksperiensial, dan juga yang lain yang berpikir dalam kosa kata-kosa kata teoritis yang berbeda. Bukan kosa kata, melainkan cara yang dipergunakan, yang bisa menyatukan terapis-terapis eksperiensial. Terapis menamakan dirinya “eksperiensil” jika perhatian tertuju pada yang konkret, yang hidup dan merasakan langkah-langkah pasien. Kata-kata hanyalah merupakan alat untuk langkah-langkah ini.
Jadi, terapis eksperiensial menggunakan teori dan pikiran-pikiran guna menunjukkan pada apa yang hidup, yang konkret dan kemudian benar-benar terasakan, daripada memahami pasien dengan konsep-konsep dan kemudian berusa nbekerja denga monsep-konsep itu. Karena metode ini memungkinkan seseorang mempergunakan kosa kata teoritisme tertentu, maka terapis-terapis eksperiensial berbicara dalam banyak cara yang berbeda, dan berbagai metode bersama-sama, daripada menggunakan cara bertutur tertentu, karena itu, gerakan itu luas dan didalamnya terdapat garis-garis pemisah bagian yang tidak tajam.
Tidak semua terapis menggeser arah gerakan eksperensial dari apa ke abagaiman-hingga metode ini tidak tergantung pada kandungan teori yang lebih terdahulu yang dipilih seseorang, juga tidak tergantung pada apakah seseorang menggunakan kata-kata, kiasan tubuh atau tekhnik-tekhnik interaksional, atau bahkan semuanya, melainkan tergantung pada bagaimana seseorang menggunakan ini. Jadi, karena pendekatan eksperiensial ini sedang tumbuh, tidak semua terapis eksperiensil mengadopsi filsfat eksperiensial dasar, dan tidak semua mereka secara artikulatif menyadari metode eksperiensial.

D. Teori
Terdapat empat konsep dasar yaitu:
eksistensi adalah prakonseptual adapat dibedakan secara internal dan dapat dirasakan oleh tubuh
interaksi
otentisitas adalah suatau proses pemindahan ke masa kini, bukan masa kini muri melainkan masa lalu yang dipindahkan yang digambarkan oleh masa depan
nilai; proses mengalami telah eksis yang bernilai sangat penting yang bertujuan, ia bersifat lokal.
Mengalami. Konsep dasar pertama adalah mengalami.
Eksistensi adalah yang dapat dirasakan oleh tubuh, tetapi harus lebih jelas lagi tentang aspek apa dari tubuh yang dimaksudkan, dan dalam pengertian yang bagaimana penggunakan istilah “yang dapat dirasakan”
Konsep dasar kedua adalah bahwa proses mengalami itu bersifat interaksional.
Interaksi (pertemua. Sebagaimana para eksisitensialis menyatakannya, manusia adalah being-in-the-world (berada-dalam-dunia). Tanda-tanda penghubung menunjukkan bahwa satu makhluk(one being), satu peristiwa (one event) baik itu sang pribadi maupun situasi-situasi atau lingkungan-lingkungan dan alam semesta dimana seseorang hidup. Umat manusia mengalami masalah dan kesulitan dalam dunia dan dalam berinteraksi dengan manusia lain. Apa yang dirasakan oleh seorang individu bukanlah “substansi dari dalam diri”, tapi merupakan sentience (perasaan dan pengetahuan bahwa anda eksis) tentang apa yang sedang terjadi dalam kehidupan seseorang diluar diri.
Carrying Forward (Authenticity). Otentisitas adalah proses yang dipindahkan (carried forward) kemasa sekarang. Konsep-konsep dasar yang telah dibahas sejauh ini mengimplikasikan adanya kesatuan pschy dan tubuh, sebagaimana halnya kesatuan sang pribadi dengan lingkungan (atau dunia, atau situasi-situasi). Kesatuan ketiga adalah kesatuan antara masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Seorang pribadi eksis dalam perasaan-perasaan tubuh, dalam situasi-situasi bersama dengan orang-orang lain, dan dalam masa lalu serta masa depan.

· Teori kepribadian
Teori eksperiensial berpendirian kepribadian itu bersifat jasmaniah dan psikis. Jasmani dan rohani adalah satu sistem yang berkembang dalam interaksi dengan orang lain. Bayi-bayi manusia lahir dengan satu otak dimana yang setengah lebih besar dari yang lain, setengahnya berfungsi dalam perkataan . struktur jasmani anak pada saat lahir mengimplikasikan bahwa suatu bahasa akan dipelajari dan suara-suara menggumam sebelum belajar bahasa. Namun, begitu bahasa apa yang dipelajari tergantung pada komunitas dimana anak itu dilahirkan. Juga, bayi akan mempunyai beberapa jenis perkembangan seksual, dengan banyak variasi pola-pola besar mana yang berkembang berdasarkan budaya tertentu. Dan sesungguhnya, pola-pola budaya ini merupakan perkembangan-perkembangan yang bersifat jasmaniah.
Karena itu, ia bukan seolah-olah makna-makna dan nilai-nilai budaya dipaksakan oleh masyarakat pada seorang individu. Seseorang tumbuh berkembang dewasa diluar suatu konteks yang sudah bersifat fisik dan sosial.
Seorang pribadi pada dasarnya bersifat jasmaniah, sosial dan psikologis, ia bukan hanya bersifat jasmaniah saja, atau sosial saja atau psikologis saja, tetapti ia mengalami tiga unsur tersebut secara serentak dalam setiap momen dan dalam setiap proses mengalami. Fisiologi, sosiologi, dan psikologi merupakan “tingkatan-tingkatan analisis” yang berbeda tetapi merupakan suatu kesalahan untuk memperlakukan ketiga unsur tersebut secara terpisah. Sikap seperti ini menciptakan suasana terbelah yang didasarkan pada “ology”.
Teori eksperiensial menganut pendirian bahwa alam sadar adalah sang tubuh. Banyak aspek, hanya beberapa diantaranya yang dapat dieksperesikan secara berbeda pada satu waktu, secara implisit dalam proses mengalami secara jasmaniah. Melalui pengutamaan, mereka membentuk pembicaraan dan tingkah laku yang given. Ketika orang-orang berekspresi secara berbeda dalam meretrospeksi satu atau lain dari banyak aspek yang membentuk suatu pembicaraan atau tingkah laku, maka satu aspek tersebut dinyatakan dalam keadaan “tidak sadar”.
Seseorang menjalani kehidupan masa kini dengan bersandar pada masa lalunya. Oleh karena itu, para pasien dalam psikoterapi biasanya mendapati bahwa baik masa kanak-kanak mereka maupun masa kehidupan mereka sekarang keduanya mempunyai andil dalam situasi sekarang yang given.

· Teori Prikoterapi
Karakter psikoterapi akan didiskusikan dibawah 5judul besar:
standar berpikir dari kerja terapi
bekerja secara implisit
hirarki fdari langkah-langkah eksperensial
cara berproses
kandungan-kandungan yang berasalah dari proses
Mengalami adalah sebuah proses interaksi, ada bersama oranglain dan ada-dalam lingkungan. Namun, lingkungan yang dimaksud tidak hanya satu jenis saja. Obyektifitas terhadap seorang pribadi dapat berupa lingkungan yang sedang berinteraksi. Dengan demian, tubuh itu sendiri adalah sebuah lingkungan bagi sel-sel dan organ-organ dalam tubuh. Tingkah laku berlangsung dalam lingkungan fisik dan situasional.
Terapi ekperensial utamanya menangani orang yang mengalami apa yang dapat dirasakan secara jasmaniah, yang secara implisit merupakan proses yang kompleks yang kurang tepat didefinisikan dalam kata, tindakan, interaksi atau tubuh fisiologis, tetapi secara implisit melibatkan semua ini.
Apa karekter yang membedakan pendekatan eksperensial terhadap psikoterapi adalah bahwa apa yang bersifat jasmaniah, tingkah laku dan prosedur-psosedur interaksionalo akan dilangsungkan dengan acuan konstan terhadap proses mengalami seorang pribadi. Pertama kali, ia harus dirasakan secara konkret dan kemudian diartikulasikan dalam kata-kata dan tindakan-tindakan lebih lanjut. Jika memeang menjadi point acuan konstan, tingkat-tingkat lain dapat digunakan secara efektif dan tanpa adanya proses dehumanisasi atau mekanisasi palsu.

Proses psikoterapi
Terdapat beberapa cara bekerja yang berkaitan dengan kehadiran langsung, proses mengalami yang segera dari seorang pribadi;
Pertemua rasional. Kehidupan seorang pribadi adalah berarti juga kehidupan dalam kehidupan dengan, tidak kurang sedikitpun dengan terapis dalam situasi ini dibandingkan dengan semua situasi oranglain yang dipunyai oleh orang ini. Momen yang berlangsung terdiri dari keduanya. Bagaimana seorang terapis eksperensial hendak merangkuh kejadian yang segera bersama kliennya dan kemudian menanganinya?
terapis harus mencermati bukan hanya pada kata-kata kliennya tetapi juga pada bagaimana mereka mengatakannya, dan pada bagaimana kehidupan kliennya pada momen dia menyatakan hal ini. Hal ini berarti mengobesrvasi wajah, tubuh, suara gestur dari klien dan membawa klien ke tataran yang lebih luas dari sekedar verbal.
ketika terapis harus mengkonfrontasikan perasaan, reaksi, rasa takut peristiwa-peristiwa yang menimbulkan perasaan cemas dan tidak nyman, menghindar dari situasi yang membosankan, kemarahan, ketidaksabaran-semuanya dirasakan secara focal, dan seseorang harus mengerti apa dan bagimana hal itu berkaitan dengan interaksi saat sekarang denga klien.
Pemfokuskan: akses ke eksistensi. Cara utama kedua untuk memperoleh kehidupan kehidupan yang mengalir secara konkret, yang melampaui kata-kata, adalah untuk membantu klien agar memperhatikan lebih dalam situasi prakonsepnya, yaitu hanya dapat dirasakan secara inderawi. Hal ini tidak dilakukan dengan hanya melancarkan pertanyaan-pertanyaan kedalam benaknya. Ini dilakukan dengan cara memfokuskan diri pada apa yang secara jasmaniah dapat dirasakan secara konkret tentang apa saja yang diucapkan atau diupayakan.
Tanggung jawab. Sebaliknya, terapis berpendirian bahwa pasien harus bertangungjawab atas perasaan-perasaan dan evaluasi-evaluasinya.

Mekanisme Psikoterapi
Pertanyaan teoritis mendasar adalah bagaimana dan mengapa psikoterapi mengubah seseorang. Para eksistensialis mengatakan bahwa seorang psibadi adalah tercipta dari pengalaman kehidupan yang dilakukan oleh orang tersebut, karena alasan inilah seorang pribadi berubah hanya melalui mengalami kehidupan secara berbeda dan agar lebih menghayati kehidupan
Pertanyaan tentang perubahan akan terjawab jika seseorang mengakui proses psikoterapi itu sendiri secara eksak bahwa kehidupan selanjutnya juga akan membuat seseorang berbeda. Mekanisme psikoterapi adalah cara-cara dalam mana, disebabkan oleh terapis, kehidupan pasien menjadi berbeda dengan segera. Ini ditimbulkan oleh pembuatan proses terapi secara eksperiensial menjadi otentik.

Kesimpulan

Psikoterapi eksistensial menganggap diri-pribadi sebagai “eksistensi” yang selalu melintasi batas-batas definisi-definisi dan konsep-konsep. Bagi pendekatan eksperientansial, diri-pribadi mempunyai ekses langsung ke arah eksistensi melalui proses langsung dari pengalaman yang sedang terjadi. Proses ini bernilai dan secara implisit memproyeksikan langkah-langkah masa depan. Mungkin langkah-langkah tersebut masih belum jelas sehingga membutuhkan keberadaan kreasi baru dalam pembicaraan atau tindakan. Namun demikian, syarat-syarat mereka secara implisit terfokus dengan baik dalam perasaan. Ketika seseorang memperoleh langkah-langkah pembicaraan atau tindakan, mereka menghasilkan perubhana, bukan hanya sekedar perubahan-yaitu perubahan yang secara implisit telah terproyeksikan, walaupun belum sepenuhnya terbentu. Beberapa gerak adalah “otentik” dan kontinuitas perubahan yang dirasakan menghasilkan, diketahui berbeda dari perbuhan-perubahan kasar dan imposisi-imposisi.
Seseorang itu menjasmani, berbudaya serta individualis yang menciptakan dirinya sendiri. Jadi, prosedur-prosedur terapi yang bersifat jasmani dan behavioral, sama baiknya dengan metode-metode interaksional verbal dan perasaan dapat digunakan bersama-sama sebagai organisme tunggal yang secara otentik dapat diteruskan pada “bidang-bidang” ini. Variasi kosakata teoritis dapat digunakan. Namun, tidak ada satupun dari prosedur-prosedur dan teori-teori ini mampu menangkap secara utuh karakter manusia-dan semua itu dapat digunakan secara efektif hanya jika momentum demi momentum yang dirasakan dalam individu yang mengalami, membuat kehadiran yang sesungguhnya sebagai pos penjagaan dan tempat berlabuh bagi kata-kata dan prosedur-prosedur. Untuk melangkah ke arah ini, maka terapis harus mengaktifkan semua inderanya, bersikap kritis, mengartikualsikan, serta merespons pada pengalaman yang sedang berlangsung yang dirasakan oleh pasien setiap saat, sehingga momen-momen tersebut akan menjadi pertemuan genuine antara mereka, dan apapun yang dikatakan dan yang diperbuat akan membenuk proses otentik berdasarkan pengalaman. Hal ini mengharuskan terapis untuk mengartikulasikan dan mengekspresikan secara terbuka apa yang sedang berlangsung dalam diri terapis. Jika hal ini dilakukan, sangat mungkin terapis dapat menangkap pengalamn langsung secara lebih dini dan lebih utuh daripada hanya sekedar mengandalkan tingkahlaku sang pasien saja.
Aspek eksperiensial dari psikoterapi merangkum dan melampauin batas-batas metode-metode dan prosedur-prosedur sebelumnya, serta dapat menggunakan mereka semua bahkan lebih memerincikan dasar pijak pengalaman mereka. Metode-metode jasmaniah seperti Yoga, kemoterapi, kerja otot Reich-ian serta terapi tingkah laku yang diterapkan, semua dapat digunakan. Oleh karena itu, metode eksperensial siap memodifikasikan semua pendekatan lain kedalam psikoterapi agar tercipta keadaan yang lebih manusiawi dan lebih efektif menggunakan berbagai ragam aspek khusus dari metode-metode yang sedang bersaing. Hasil-hasil penelitian juga melahirkan pandangan baru bahwa metode eksperensial edentik dengan proses mengalami yang sangat otentik selama terapi, dan bukan aspek lain tentang apa yang diucapkan atau dikerjakan oleh pasien dan terapis yang memprediksikan keberhasilan.
Penekanan eksistensial pada kemampuan persoanal untuk berubah hanya melalui proses hidup otentik yang baru dan diperbarui membutuhkan psikoterapi itu proses kehidupan itu sendiri. Hal ini sangat dimungkinkan dalam suatu komunitas yang berorientasi hubungan-hubungan otentik daripada hanya sekedar hubungan antara satu terpis dengan pasien sendirian. Dengan cara tersebut, struktur profesional lama yang artifisial dapat dimodifikasi atau di eliminir. Tren terbaru terhadap jaringan-jaringan pemuda-pemudi, kelompok-kelompok pertemuan,dll dan gaya hidup baru dapat meraih keberhasilan yang lebih besar jika dilakukan pertemuan eksperensial yang otentik dalam suasana kehidupan riil yang bertanggungjawab diantara para warga masyarakat. Dalam konteks psikoterapi, ia akan mengubah total pola hubungan dokter medis-pasien, sehingga terciptalah kehidupan. Kebudayaaan secara kesluruhan, dapat berubah bukan hanya masalah perseorangan saja.

*sumber:Buku Psikologi Dewasa ini

Agama dalam prespektif Antropologi

Sebagai makhluk biologis dan sosial, demi mempertahankan kehidupannya manusia amat bergantung dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Namun, dalam menjalankan fungsinya itu manusia tidak bersentuhan dengan dunia secara pasif. Bahkan, cara manusia bertindak mempengaruhi kehidupan kehidupan sosial dan jaring-jaring kehidupan disekitarnya.
Bab ini secara specifik akan membahas pemikiran para Antropologi dalam pandangan-pandangannya mengenai agama. Mereka, adalah Adward Burnett Tylor (1832-1917), James George Frazer (1854-1941), dan Mircea Eliade (1907-1986)
E.B. Tylor dan J.G. Frazer
E.B. Taylor adalah salah satu antropolog penting yang menyumbangkan definisinya tentang agama. Tylor muda tentunya akrab dengan diskusi-diskusi mengenai hal tersebut dan secara kuat mendukung untuk berpikir dengan konteks yang serupa, yakni mengikuti pedapat para theolog. Akan tetapi, kemudian pada tahun 1859, Charles Darwin mempublikasikan karya terkenalnya ”Origin Of Species”. Teori evolusi dengan seleksi alam yang dia presentasikan struck many as shockingly contrary to the scriptures but irresistibly persuasive nonetheless. Setelah itu, pada tahun 1871 diikuti dengan penerbitan The Descent Of Man, sebuah karya yang juga kontroversial mengenai ”evolusi” hampir dibicarakan semua orang. Dan tampaknya gagasan tersebut juga memengaruhi pemikiran tylor.
Disamping dua karya itu, tampaknya Tylor merujuk kepada tren-tren baru dalam penelitian dimasa itu. Dia meleakkan tekanan-tekanan dasar dalam ilmu ”ethnografi” dan ”ethnologi”. Tylor dan pengikutnya memanfaatkan kedua entitas itu guna memberikan distingsi jenis studi yang baru: ”deskripsi (description) (ethnography; dari bahasa Yunani grapho, ”to write”) dan analisa ilmiah (ethology; dari bahasa Yunani logos, ”study”) atas masyarakat, kultur atau kelompok rasial (dari bahasa Yunani Ethos, bangsa (nation) atau manusia)people) dalam semua banyak bagian komponennya. Mereka bahkan juga menggunakan istilah ”Antropologi”, kajian ilmiah tetang manusia (dari bahasa Yunani ”anthropos” (manusia)

Dasar Pemikiran Evolusionis Tylor

Salah satu prinsip mendasar yang dipegang oleh Tylor adalah bahwa hubungan antara pemikiran rasional dasar dan evolusi sosial tampak disemua aspek sebuah budaya jika kita punya waktu untuk melihatny secara cukup dekat. Dia merangkai contoh utama penggunaan magic, yang umum disemua tempat dikalangan orng-orang primitif. Menurutnta, magic didasarkan keada pengasosian ide-ide, sebuah tedensi yang ”terletak pada fondasi akal manusia.” bagaimanapun jika didalam pemikiran, manusia bisa mengkoneksikan sebuah ide dengan yang lain, maka logika mereka menggerakkannya untuk menyimpulkan bahwa koneksi yang sama harus berwujud didalam relaitas. Oleh karena itu, manusia primitif percaya bahwa , meski dibatasi jarak, mereka bisa menyakiti atau mengobati oranglain hanya dengan menggerakkan kuku, ikat rambut, atau apapun.
Dari situ tampaknya Tylor menemukan bentuk rasionalitas yang sama didalam dua pencapaian kemanusiaan yang paling mendasar dan siginfikan, yaitu perkembangan bahsa dan penemuan matematika.
Tylor menjelaskan bahwa sepanjang rentang searahnya, proses ini telah mengalami banyak trial and error, namun melaluinya semua garis perkembangan membuatnya menjadi tampak. Bahkan mitologi kenyataannya dibentuk oleh bentuk pemikiran rasional yang serupa. Mitos-mitos berkembang dari tendensi natural untuk membungkus setiap gagasan didalam suatu bentuk yang konkret, dan baik diciptakan oleh budaya primitif atau modern, mereka cenderung mengikuti hukumperkembangan secaa berturut. Mitos-mitos berasal dari asosiasi ide-ide logis.
Asal-Usul Agama
Kaitannya dengan agama, Tylor mengakui bahwa seseorang tidak bisa menjelaskan sesuatu yang mau dijelaskan. Jadi, menurut Tylor, agama pertama kali harus didefinisikan, karena untuk mendeskripsikan agama sekedar hanya keyakinan kepada Tuhan, meski inilah yang kebanyakan umat kristen ingin dilakukan. Tylor kemudian menyodorkan defenisi minimalnya, yaitu bahwa agama adalah ”keyakinan kepada wujud-wujud spiritual”. Meski kita bisa menemukan bentuk-bentuk persamaan yang lain, Tylor merasa karakteristik yang sama-sama dimiliki oleh semua agama, besar atau kecil, kuno atau modern adalah keyakinan kepada makhluk-makhluk halus (spirits) yang berpikir, bertidak, dan merasa seperti layaknya manusia.
Bagi Tylor, esensi dari agama, seperti halnya juga mitologi, tamaknya adalah animisme, yaitu keyakinan kepada kekuatan personal yang hidup dibalik segala sesuatu. Animisme lebh jauh adalah bentuk pemikiran yang sangat tua, yang ditemukan diseluruh sejarah ras manusia.
Orang yang kuat agamanya mungkin akan menjawab bahwa mereka percaya kepada wujud spiritual, seperti Tuhan, lantaran bahwa wujud tersebut sebenarnya telah berkomunikasi dengan mereka secara supernatural melalui kitab-kitab suci. Bagi Tylor, argumen yang merujuk kepada wahyu ketuhanan seperti itu hanya bisa memberikan kesenagan sebagai kesaksian personal, namun itu tidak bisa diterima dalam prespektif sains.

Perkembangan Pemikiran Keagamaan

Menurut Tylor, bahwa ketika suatu gagasan-gasana spiritual tersebut memperoleh pemahaman dalam pikiran-pikiran manusia primitif, mereka tidak tetap dalam bentuk yang mapan. Seperti apapun yang lain di dalam sejarah, animisme juga mengikuti tren perkembangan dan pertumbuhan.
Mereka bisa mencapai bentuk tertinggi mereka saat mereka diorganisir dengan cara seperti itu bahwa satu Tuhan, relaitas tertinggi, berada diatas komunitas dewa. Dan secara gardual, dengan cara-caranya yang berbeda, kebanyakan peradaban mulai bergeser kepada tingkatan animisme yang tertinggi –yaitu percaya kepada Yang Maha Kuasa.
J.G. Frazer
Ketika ia mulai beralih kepada antropolgi, fazer sama sekali tidak meninggalkan kajian-kajian klasknya dibelakang. Tujuannya masih dalam rangka untuk menkaji kebudayaan yunani dan romawi, namun dengan satu kacamata atau pendekatan antropologi. Frazer merasa bahwa sebuah peradaban bisa dilihat dengan tradis-tradisi primitif yang lebih awal yang hadir didalamnya. Dia yakin bahwa kombinasi kajian klasik dan antropologi menyuguhkan sebuah prospek revolusioner dalam memahami dunia kuno.
Analisis
Teori-teori Tylor dan frazer dibagi ke dalam beberapa aspek, diantaranya;
1. Ilmu an Antropologi
Mereka berasumsi dari awal bahwa penjelasan apapun mengenai agama yang merajuk kepada klaim-klaim atas berbagai peristiwa kemukjizatan atau kepada wahyu supernatural haruslah dihapus. Misalnya, bahwa alasan bangsa Yunani kuno mengikuti Sepuluh Perintah (Ten Commandements) adalah karena sesungguhnya perinah itu diturunkan oleh Tuhan. Hanya penjelasn-penjelasan natural sajalah yang menurut keduanya secara serius bisa dipertimbangkan.
Keduanya, mengumpulkan contoh-contoh perilkau dari setiap budaya di dunia dab jadinya tampakya secara ideal cocok dengan tujuan membingkai sesuatu yang besar sebagai sebuah teori agama.
2. Evolusi dan teori asal-usul
Mereka sama-sama sangat berkomitmen untuk menjelaskan agama utamanya dari konteks asal-usul pra sejarahnya, masa awalnya di periode-periode yang sangat lampau dan evolusi gardualnya hingga pada bentuk masa kini di abad-abad kemudian. Keduanya pun percaya bahwa cara terbaik ketika ingin menjelaskan agama adalah dengan menemukan bagaimana agama dimulai, dengan mengamatinya dalam bentuk yang paling awal dan sederhana, dan kemudian dengan mengikuti, menapaktilasi perjalanannya dari awal hingga masa sekarang.
Menurutnya, agama telah berkembang dalam seperangkat lingkungan yang dijumpai oleh semua masyarakat pra sejarah. Lebih jauh, setelah berkembang di masa lampau, agama telah mulai memperlihatkan statusnya, bersamaan dengan klaim kebenaran dan kemanfaatannya, berubah secara signifikan sepanjang proses evolusi intelektualnya.
Mereka berpendapat bahwa manusia secara perlahan, tapi pasti, memperbaiki diri mereka dengan menciptakan komunitas-komunitas yang lebih beradab.
3. intelektualisme dan indivualisme
pada umumnya setiapbentuk teoritis saat ini, menurut Pals, sering merujuk kepada konsep-konsep Tylor dan Frazer sebagai pendukung terhadap sebuah pendekatan ”intelektualis” bagi agama. Hal ini, karena keduanya sepakat memikirkan agama sebagai permulaan dari semua bentuk keyakinan, gagasan-gagasan yang manusia kembangkan untuk menjelaskan apa yang mereka temukan di dunia.

Emile Durkheim

Durkheim mengklaim bhwa masyarakat primitif normalnya tidak secara sungguh-sungguh memikiekan dua dunia yang berbeda, dimana yang satu dikatakan natural dan sementara yang lain dikatakan supernatural.
Bisa dikatakan bahea masyarakat modern utamanya dipengaruhi oleh berbagai asumsi dan hukum-hukum sains tentang alam; namun tidak demikian pada masyarakat primitif. Masyarakat modern melihat semua peristiwa –yang mengandung mukjizat atau biasa saja –pada dasarnya dengan jenis yang sama. Konsep dewa-dewa sendiri juga mengandung masalah, karena tidak semua komunitas keagamaan percaya dengan wujud-wujud ketuhanan meski mereka betul-betul percaya dengan supernatural.
Durkheim kemudian mengobservasi bahwa sesuatu yang tampaknya karakteristik sejati keyakinan dan ritual agama bukanlah elemen dari supernatural, namun konsep dari yang sakral (the sacred). Untuk itu, menurutnya, yang menjadi folus agama secara kesluruhan adalah pada yang pertama (the sacred). Dia mengingatkan bahwa tidak salah memahami, memikirkan bahwa pembagian the sacred adalah kebaikan dan profane adalah kejahatan. The sacred bisa jadi suatu kebaikan ataui keburukan, namun yang pasti bahwa ia tidak akan pernah menjadi profane, dan begitu juga sebaiknya. Penekanan kepada yang sacred sebagai sesuatu yang komunal ini membuat Durkheim tidak sepakat dengan para pendahuluannya, yang memusatkan perhatian kepada pertanyaan teka-teki mengenai magic.
Ras manusia pertama kali mengikuti aturan-aturan magic, dan kemudian karena gagal, maka beralih dengan menjadikan agama sebagai bentuk pemikirannya yang baik. Dia tidak setuju, karena baginya agama tidak muncul untuk menggantikan magic karena keduanya fokus kepada hal yang berbeda. Alasanya, karena magic itu berurusan dengan masalah privasi yang eksklusif, yang sedikit atau tidak sama sekali berkaitan dengan yang sacred.

Studi atas Pemikiran Durkheim

o Masyarakat dan Agama

Menurutnya, agama adalah sesuatu yang sangat bersifat sosial (religion is something emintly social). Karena, meskipun dalam kapasitasnya sebagai indiviual membuat berbagai pilihan didalam hidup, dalam bingkai sosial sebagai sebuah anugrah bagi kita sejak lahir. Agama dalam semua kebudayaan adalah bagian peninggalan masyarakat yang paling bernilai.
o Metode Ilmiah
Dia tampak jelas dengan menggunaan metode ilmiah. Seperti, mengumpulkan data, membandingkan, mengkalsifikasi, dan membuat generalisasi untuk kemudian memberikan suatu penjelasan menyeluruh atasnya. Durkheim tampaknya setuju bahwa tempat terbaik untuk memulai adalah dengan budaya-budaya yang sederhana –yang disebut dengan masyarakat primitif.
o Ritual dan Kepercayaan
Durkheim dangat berpisah jarak dari cara-cara yang sebagaimana digunakan oleh Tylor dan frazer dalam mempertanyakan hubungan antara ritual dengan keyakinan kegamaan. Pendekatan intelektualis mereka bertahan pada keyakinan dan ide mengenai dunia adalah elemen-elemen primer dalam kehidupan keagamaan. Praktek-praktek-praktek keagamaan –adat dan ritualnya –tampaknya menjadi bersifat sekunder; mereka ikut kepada keyakinan dan bergantung kepadanya. Dalam pemikirannya, ritual-ritual agama memiliki prioritas. Ritual-lah yang menjadi dasar dan sebenarnya menciptakan keyakinan-keyakinan yang menyertainya.
o Penjelasan Bercorak Fungsional
Dalam menjelaskan agama Durkheim berpikir bahwa dia bisa beranjak ke bawah permukaan berbagai hal. Sedangkan, Tylor dan Frazer menjelaskan agama sebagai yang tampak. Merujuk kepada sisi spekulatif Durkheim mengenai agama, ia memberikan penjelasan pentingnya ide dan keyakinan adalah kunci untuk menjelaskan buday-budaya lain.

E.E. Evans-Pritchard

Pendekatannya terhadap antropologi –dan konsekuensinya terhadap agama sepenuhnya dibentuk dari tiga tradisi yang lebih awal. Tradisi aeal bisa disebut sebagai antropologi Victorian yang lebih tua, kedua adalah sosiologi Prancis, dan yang terakhir adalah mahzab antropologi lapangan British yang lebih baru.
Dia banyak terobsesi oleh pemikiran sosiologi di Perancis. Tradisi Perancis dalam memahami masalah manusia dari prespektif sosialnya merujuk kepada periode sebelum masa Revolusi. Dan serta menjelaskan secara jelas bahwa kehidupan sosial manusia, yang mencakup agama, tidak pernah bisa dipahami hanya sekedar sebagai apa yang para individu pikirkan dan kerjakan.

Mircea Eliade

Salah satu prinsip pertama yang melekat pada Eliade adalah pendirian yang kuat pada reduksionisme. Dia percaya dengan kuat akan independensi atau otonomi agama, yang baginya tak bisa dijelaskan sekedar by-product realitas yang lain. Baginya, suatu fenomena kegamaan adalah hanya akan bisa diakui sebagaimana mestinya jika ia pahami pada levelnya sendiri, yaitu jika ia dikaji sebagai sesuatu yang religious. Untuk berusaha memahami esensi fenomena, seperti itu dengan instrumen fisiologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, linguistik, seni adalah hal yang salah; ia menghilangkan hal yang unik, dan yang kompleks (irreducible) didalamnya –elemen yang sakral. Kemudian, prinsip kedua diaplikasikan dalam metode. Jika kenyataannya, agama adalah sesuatu yang independen, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara murni melalui psikologi atau sosiologi.

Konsep Agama versi Eliade

Dalam bukunya yang berjudul ”The Scared and The Profane” memberikan penjelasan singkat bahwa dalam memahami agama, pergerakan pertama yang kita lakukan adalah mungkin yang paling penting. Maksudnya, bahwa seorang sejarawan harus melangkah keluar peradaban, modern yang hanyalah sebuah pecahan kecil dari keseluruhan kehidupan manusia yang pernah hidup dimasa pra-sejarah atau hidup didalam masyarakat kesukuan, tempat dimanan dunia kealaman. Sebuah kehidupan yang hidup dalam dua kendaraan yang berbeda; yaitu sakral dan yang profan. Profan adalah wilayah urusan sehari-hari –berbagai hal biasa dan umumnya tidak penting. Sakral adalah wilayah supernatural, berbagai hal yang luar biasa, terus diingat, dan memiliki momentum.
------------ Razak, Yusron dan Nurtawaba, Ervan. “Antropologi Agama”. UIN Jakarta Press. Jakarta:2007


Sejarah Gerakan Kesehatan Mental

PENDAHULUAN
Seperti kesehatan fisik, kesehatan mental merupakan aspek sangat penting bagi setiap fase kehidupan Rata Penuhmanusia. Keshatan mental terentang dari yang baik sampai dengan yang buruk. Setiap orang, mungkin dalam hidupnya mengalami kedua sisi rentangan tersebut, kadang-kadang keadaan mentalnya sangat sehat, tetapi dilain waktu justru sebaliknya. Pada saat mengalami masalah kesehatan mental, seseorang membutuhkan pertolongan orang lain untuk mengatasi masalah yang dihadapinya tersebuit. Kesalahan mental dapat memberikan dampak terhadap kehidupan sehari-hari atau masa depan seseorang termasuk anak-anak dan remaja. Merawat dan melindungi keshatan mental anak-anak merupakan aspek yang sangat penting yang dapat membantu perkembangan anak yang lebih baik di masa depan.
PEMBAHASAN
A. Era pra Ilmiah
1. Kepercayaan Animisme
Sejak zaman dulu sikap terhadap gangguan kepribadian atau mental telah muncul dalam konsep primitif animeisme, ada kepercayaan bahwa dunia ini diawasi atau dikuasisi oleh roh-roh atau dewa-dewa. Orang primitrif percaya bahwa angin bertiup, ombak mengalun, batu berguling, dan pohon tumbuh karena pengaruh roh yang tinggal dalam benda-benda tersebuit.
Orang yunani percaya bahwa gangguan mental terjadi karena dewa marah dan membawa pergi jiwanya. Untuk menghindari kemarahannya, maka mereka mengadakan perjamuan pesta (sesaji) dengan mantra dari korban.
2. Kemunculan Naturalisme
Perubahan sikap terhadap tradisi animisme terjadi pada zaman Hipocrates (460-467). Dia dan pengikuutnya mengembangkan pandangan revolusioner dalam pengobatan, yaitu dengan menggunakan pendekatan ”Naturalisme”, suatu aliran yang berpendapat bahwa gangguan mental atau fisik itu merupakan akibat dari alam. Hipocrates menolak pengaruh roh, dewa, syetan atau hantui sebagai penyebab sakit. Dia menyatakan: ”Jika anda memotong batok kepala, maka anda akan menemukan otak yang basah, dan memicu bau yang amis, akan tetapi anda tidak akan melihat roh, dewa atau hantuyang melukai badan anda”.
Ide naturalkistik ini kemudian dikembangkan oleh Galen, seorang tabib dalam lapangan pekerjaan pemeriksaan atau pembedahan hewan.
Dalam perkembangan selajutnya, pendekatan naturalistik ini tidak dipergunakan lagi dikalangan orang-orang kristen. Seorang dokter perancis, Philipe Pinel (1745-1826) menggunakan filasafat politik dan sosial yang baru untuk memecahkan problem penyakit mental. Dia telah terpilih menjadi kepala Rumah Sakit Bicetre di Paris. Di rumah sakit ini, para pasiennya (yang maniac) dirantai, diikat ditembok dan ditempat tidur. Para pasien yang telah dirantai selama 20 tahun atau lebih, adan mereka dipandang sangat berbahaya dibawa jalan-jalan disekitar ruimah sakit. Akhirnya, diantara mereka banyak yang berhasil, mereka tidak menunjukkan lagi kecenderungan untuk melukai atau merusak dirinya sendiri.
B. Era Ilmiiah (Modern)
Perubahan yang sangat berarti dalam sikap dan era pengobatan gangguan mental, yaitu dari animisme (irrasional) dan tradisional ke sikap dan cara yang rasional (ilmiah), terjadi pada saat berkembangnya Psikologi Abnormal dan psikiatri di Amerika Serikat, yaitu pada tahun 1783. ketika itu benyamin rush (1745-1813) menjadi anggota staff medis dirumah sakit Penisylvania. Dirumah sakit ini ada 24 pasien yang dianggap sebagai ”lunaties”(orang-orang gila atau sakit ingatan).
Pada waktu itu sedikit sekali pengetahuan tentang penyakit kegilaan tersebut, dan kurang mengetahui bagaimana menyembuhkannya. Sebagai akibatnya, pasien-pasien tersdebut didukung dalam sel yang kurang sekali alat ventilasinya, dan mereka sekali-sekali digugur dengan air.
Rush melakukan usaha yang sangat berguna untuk memahami orang-orang yang menderita gangguan mental tersebut. Cara yang ditempuhnya adalah dengan melalui penulisan artikel-artikel dalam koran, ceramah, dan pertemuan-pertemuan lainnya. Akhirnya, setelah usaha itu dilakukan (selama 13tahun), yaitu pada tahun 1796, dirumah mental. Ruangan ini dibedakan untuk pasien wanita dan pria. Secara berkesenimbungan, rush mengadakan pengobatan kepada para pasien dengan memberikan dorongan (motivasi) untuk mau bekerja, rekreasi, dan mencari kesenangan.
Perkembangan psikologi abnormal dan pskiatri ini memberikan pengaruh kepada lahirnya Mental Hygiene yang berkembang menjadi suatu ”Body Of Knowledge” berikut gerakan-gerakan yang teorganisir.
Perkembangan kesehatan mental dipengaruhi oleh gagasan, pemikiran dan inspirasi para ahli, dalam hal ini terutama dari dua tokoh perintis, yaitu Dorothea Lynde Dix dan Clifford Whittingham Beers. Kedua orang ini banyak mendedikasikan hidupnya dalam bidang pencegahan gangguan mental dan pertolongan bagi orang-orang miskin dan lemah. Dorthea Lynde Dix lahir pada tahun 1802 dan meninggal duinia tanggal 17 July 1887. dia adalah seorang guru sekolah di Massachussets, yang menaruh perhatian terhadap orang-orang yang mengalami gangguan mental. Sebagian perintis (pioneer), selama 40tahun dia berjuang untuk memberikan pengorbanan terhadap orang-orang gila secara lebih manusiawi.
Usahanya mula-mula diarahkan pada para pasien mental dirumah sakit. Kemudian diperluas kepada para penderita gangguan mental yang dikurung dirumah-rumah penjara. Pekerjaan Dix ini merupakan faktror penting dalam membangun kesadaran masyarakat umum untuk memperhatikan kebutuhan para penderita gangguan mental. Berkat usahanya yang tak kenal lelah, di Amerika serilkat didirikan 32 rumah sakit jiwa, dimana dia layak mendapat pujian sebagai salah seorang wanita besar di abad 19.
Pada tahun 1909, gerakan kesehatan mental secara formal mulai muncul. Selama dsekade 1900-19090 beberpa organisasi kesehetran mental telah didirikan, sepert: American Social Hygiene Associatin (ASHA), dan American Federation for Sex Hygiene.
Perkembangan gerakan-gerakan dibidang kesehatan mental ini tidak lepas dari jasa Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Bahkan, karena jasa-jasanya itulah, dia dinobatkan sebagai ”The Founder Of The Mental Hygiene Movement”. Dia terkenal karena pengalamannya yang luas dalam bidang pencegahan dan pengobatan gangguan mental dengan cara yang sangat manusiawi.
Dedikasi Beers yang begitu kuat dalam kesehatan mental, dipengaruhi juga oleh pengalamannya sebagai pasien dibeberapa rumah sakit jiwa yang berbeda. Selama dirumah sakit, dia mendapatkan pelayanan atau pengobatan yang keras dan kasar (kuarang manusia). Kondisi seperti ini terjadi, karena pada masa itu belum ada perhatian terhadap masalah gangguan mental, apalagi pengobatannya.
Setelah dua tahun mendapatkan perawatan dirumah sakit dia mulai memperbaiki dirinya, dan selama tahun terakhirnya sebagai pasien, dia mulai mengembangkan gagasan untuk membuat suatu gerakan untuk melindungi orang-orang yang mengalami gangguan mental atau orang gila (insane). Setelah dia kembali dalam kehidupan yang normal (sembuh dari penyakitnya), pada tahun 1908 di menindaklanjuti gagasannya demngan mempublikasikan sebuah tulisan autobiografinya sebagai, mantan penderita gangguan mental, yang berjudul ”A Mind That Found It Self”. Kehadiran buku ini disambut baik oleh Willian james, sebagai seorang pakar psikologi. Dalam buku ini, dia memberikan koreksi terhadap program pelayanan, perlakuan atau ”treatment” yang diberikan kepada para pasien dirumah sakit-rumah sakit yang dipandangnya kurang manusiawi. Disamping itu dia melupakan reformasi terhadap lembaga yang diberikan perawatan gangguan mental.
Beers meyakini bahwa penyakit atau gangguan mental dapat dicegah atau disembuhkan. Selanjutnya dia merancang suatu program yang bersifat nasional tujuan:
1. Mereformasi program perawatan dan pemngobatan terhadap orang-orang pengidap penyakit jiwa.
2. Melakukan penyebaran informasi kepada masyarakat agar mereka memiliki pemahaman dan sikap yang positif terhadap para pasien yang mengidap gangguan atau penyakit jiwa
3. Mendorong dilakukannya berbagai penelitian tentang kasus-kasus dan pengobatan gangguan mental.
4. Mengembangkan praktik-praktik untuk mencegah gangguan mental.
Program Beers ini ternyata mendapat respon positif dari kalangan masyarakat, terutama kalangan para ahli, seperti Wlliam James dan seorang Psikiatris ternama, yaitu Adolf Mayer. Begitu tertariknya terhadap gagasan Beers, Adolf Mayer menyarankan untuk menamai gerakan itu dengan nama ”Mental Hygiene”. Dengan demikian, yang mempopulerkan istilah ”Mental Hygiene” adalah Mayer.
Belum lama setelah buku itu diterbitkan, yaitu pada tahun 1908, sebuah organisasio pertama, didirikan, dengan nama”Connectievt Society For Mental Hygiene”. Satu tahu kemudian, tepatnya pada tanggal 19 Februari 1909 didirikan ”National Commitye Siciety For Mental Hygiene”, disini Beers diangkat menjadi sekretarisnya. Organusasi ini bertujuannya:
  1. Melindungi kesehatan mental masyarakat
  2. Menyusun standar perawatan para pengidap gangguan mental
  3. Meningkatkan studi tentang gangguan mental dalam segala bentuknya dan berbagai aspek yang terkait dengannya.
  4. Menyebarkan pengetahuan tentang kasus gangguan mental, pencegahan dan pengobatannya
  5. Mengkoordinasikan lembaga-lembhaga perawatan yang ada
Terkait dengan perkembangan gerakan kesehatan mental ini, Deutsch mengemukakan bahwa pada masa dan pasca Perang Dunia I, gerakan kesehatan mental ini mengkonsentarsikan programnya untuk membantu mereka yang mengalami masalah serius. Setelah perang usai, gerakan kesehatan mental semakin berkembang dan cakupan garapannya meliputi berbagai bidang kegiatan, seperti : pendidikan, kesehatan masyarakat, pengobatan umum, industri, kriminologi, dan kerja sosial.
Secara hukum, gerakan kesehatan mental ini mendapatkan pengukuhannya pada tanggal 3 Juli 1946, yaitu ketika presiden Amerika Serikat menandatangani ”The National Mental Helath Act”. Dokumen ini merupakan bluprint yang komprehensif, yang berisi program-program jangka panjang yang diarahkan untuk meningkatkan kesehatan mental seluruh warga masyarakat.
Beberapa tujuan yang terkandung dalam dokumen tersebnut itu meliputi:
  1. Meningkatkan kesehatan mental seluruh warga masyarakat Amerika Serikat, melalui penelitian, inevetigasi, eksperimen penanganan kasus-kasus, diagnosis dan pengobatan
  2. Membantu lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan koordinasi antara para peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian dan meningkatkan kegiatan dan mengaplikasikan hasil-hasil penelitiannya.
  3. Memberikan latihan terhadap para personel tentang kesehatan mental
  4. Mengembangkan dan membantu negara dalam menerapkan berbagai metode pencegahan, diagnosis, dan pengobatan terhadap para pengidap gangguan mental
Pada tahun 1950 organisasi kesehatan mental terus bertambah, yaitu dengan berdirinya ”National Association For Mental Health” yang bekerjasama dengan tiga organisasi swadaya masyarakat lainnya, yaitu ”National Committee For Mental Hygiene”, ”National Mental Health Foundation”, dan ”Psychiatric Foundation”.
Gerakan kesehatan mental ini terus berkambang, sehingga pada tahun 1075 di Amerika serikat terdapat lebih dari seribu tempat perkumpulan kesehatan mental. Dibelahan dunia lainnya, gerakan ini dikembangkan melalui ”The World Federation For Mental Health” dan “The World Health Organization”.

-------Yusuf, Syamsu. ”Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam kajian Psikologi dan agam”. Pustaka Bani Quraisy bandung. Bandung. 2004