Sabtu, 13 Februari 2010

Agama dalam prespektif Antropologi

Sebagai makhluk biologis dan sosial, demi mempertahankan kehidupannya manusia amat bergantung dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Namun, dalam menjalankan fungsinya itu manusia tidak bersentuhan dengan dunia secara pasif. Bahkan, cara manusia bertindak mempengaruhi kehidupan kehidupan sosial dan jaring-jaring kehidupan disekitarnya.
Bab ini secara specifik akan membahas pemikiran para Antropologi dalam pandangan-pandangannya mengenai agama. Mereka, adalah Adward Burnett Tylor (1832-1917), James George Frazer (1854-1941), dan Mircea Eliade (1907-1986)
E.B. Tylor dan J.G. Frazer
E.B. Taylor adalah salah satu antropolog penting yang menyumbangkan definisinya tentang agama. Tylor muda tentunya akrab dengan diskusi-diskusi mengenai hal tersebut dan secara kuat mendukung untuk berpikir dengan konteks yang serupa, yakni mengikuti pedapat para theolog. Akan tetapi, kemudian pada tahun 1859, Charles Darwin mempublikasikan karya terkenalnya ”Origin Of Species”. Teori evolusi dengan seleksi alam yang dia presentasikan struck many as shockingly contrary to the scriptures but irresistibly persuasive nonetheless. Setelah itu, pada tahun 1871 diikuti dengan penerbitan The Descent Of Man, sebuah karya yang juga kontroversial mengenai ”evolusi” hampir dibicarakan semua orang. Dan tampaknya gagasan tersebut juga memengaruhi pemikiran tylor.
Disamping dua karya itu, tampaknya Tylor merujuk kepada tren-tren baru dalam penelitian dimasa itu. Dia meleakkan tekanan-tekanan dasar dalam ilmu ”ethnografi” dan ”ethnologi”. Tylor dan pengikutnya memanfaatkan kedua entitas itu guna memberikan distingsi jenis studi yang baru: ”deskripsi (description) (ethnography; dari bahasa Yunani grapho, ”to write”) dan analisa ilmiah (ethology; dari bahasa Yunani logos, ”study”) atas masyarakat, kultur atau kelompok rasial (dari bahasa Yunani Ethos, bangsa (nation) atau manusia)people) dalam semua banyak bagian komponennya. Mereka bahkan juga menggunakan istilah ”Antropologi”, kajian ilmiah tetang manusia (dari bahasa Yunani ”anthropos” (manusia)

Dasar Pemikiran Evolusionis Tylor

Salah satu prinsip mendasar yang dipegang oleh Tylor adalah bahwa hubungan antara pemikiran rasional dasar dan evolusi sosial tampak disemua aspek sebuah budaya jika kita punya waktu untuk melihatny secara cukup dekat. Dia merangkai contoh utama penggunaan magic, yang umum disemua tempat dikalangan orng-orang primitif. Menurutnta, magic didasarkan keada pengasosian ide-ide, sebuah tedensi yang ”terletak pada fondasi akal manusia.” bagaimanapun jika didalam pemikiran, manusia bisa mengkoneksikan sebuah ide dengan yang lain, maka logika mereka menggerakkannya untuk menyimpulkan bahwa koneksi yang sama harus berwujud didalam relaitas. Oleh karena itu, manusia primitif percaya bahwa , meski dibatasi jarak, mereka bisa menyakiti atau mengobati oranglain hanya dengan menggerakkan kuku, ikat rambut, atau apapun.
Dari situ tampaknya Tylor menemukan bentuk rasionalitas yang sama didalam dua pencapaian kemanusiaan yang paling mendasar dan siginfikan, yaitu perkembangan bahsa dan penemuan matematika.
Tylor menjelaskan bahwa sepanjang rentang searahnya, proses ini telah mengalami banyak trial and error, namun melaluinya semua garis perkembangan membuatnya menjadi tampak. Bahkan mitologi kenyataannya dibentuk oleh bentuk pemikiran rasional yang serupa. Mitos-mitos berkembang dari tendensi natural untuk membungkus setiap gagasan didalam suatu bentuk yang konkret, dan baik diciptakan oleh budaya primitif atau modern, mereka cenderung mengikuti hukumperkembangan secaa berturut. Mitos-mitos berasal dari asosiasi ide-ide logis.
Asal-Usul Agama
Kaitannya dengan agama, Tylor mengakui bahwa seseorang tidak bisa menjelaskan sesuatu yang mau dijelaskan. Jadi, menurut Tylor, agama pertama kali harus didefinisikan, karena untuk mendeskripsikan agama sekedar hanya keyakinan kepada Tuhan, meski inilah yang kebanyakan umat kristen ingin dilakukan. Tylor kemudian menyodorkan defenisi minimalnya, yaitu bahwa agama adalah ”keyakinan kepada wujud-wujud spiritual”. Meski kita bisa menemukan bentuk-bentuk persamaan yang lain, Tylor merasa karakteristik yang sama-sama dimiliki oleh semua agama, besar atau kecil, kuno atau modern adalah keyakinan kepada makhluk-makhluk halus (spirits) yang berpikir, bertidak, dan merasa seperti layaknya manusia.
Bagi Tylor, esensi dari agama, seperti halnya juga mitologi, tamaknya adalah animisme, yaitu keyakinan kepada kekuatan personal yang hidup dibalik segala sesuatu. Animisme lebh jauh adalah bentuk pemikiran yang sangat tua, yang ditemukan diseluruh sejarah ras manusia.
Orang yang kuat agamanya mungkin akan menjawab bahwa mereka percaya kepada wujud spiritual, seperti Tuhan, lantaran bahwa wujud tersebut sebenarnya telah berkomunikasi dengan mereka secara supernatural melalui kitab-kitab suci. Bagi Tylor, argumen yang merujuk kepada wahyu ketuhanan seperti itu hanya bisa memberikan kesenagan sebagai kesaksian personal, namun itu tidak bisa diterima dalam prespektif sains.

Perkembangan Pemikiran Keagamaan

Menurut Tylor, bahwa ketika suatu gagasan-gasana spiritual tersebut memperoleh pemahaman dalam pikiran-pikiran manusia primitif, mereka tidak tetap dalam bentuk yang mapan. Seperti apapun yang lain di dalam sejarah, animisme juga mengikuti tren perkembangan dan pertumbuhan.
Mereka bisa mencapai bentuk tertinggi mereka saat mereka diorganisir dengan cara seperti itu bahwa satu Tuhan, relaitas tertinggi, berada diatas komunitas dewa. Dan secara gardual, dengan cara-caranya yang berbeda, kebanyakan peradaban mulai bergeser kepada tingkatan animisme yang tertinggi –yaitu percaya kepada Yang Maha Kuasa.
J.G. Frazer
Ketika ia mulai beralih kepada antropolgi, fazer sama sekali tidak meninggalkan kajian-kajian klasknya dibelakang. Tujuannya masih dalam rangka untuk menkaji kebudayaan yunani dan romawi, namun dengan satu kacamata atau pendekatan antropologi. Frazer merasa bahwa sebuah peradaban bisa dilihat dengan tradis-tradisi primitif yang lebih awal yang hadir didalamnya. Dia yakin bahwa kombinasi kajian klasik dan antropologi menyuguhkan sebuah prospek revolusioner dalam memahami dunia kuno.
Analisis
Teori-teori Tylor dan frazer dibagi ke dalam beberapa aspek, diantaranya;
1. Ilmu an Antropologi
Mereka berasumsi dari awal bahwa penjelasan apapun mengenai agama yang merajuk kepada klaim-klaim atas berbagai peristiwa kemukjizatan atau kepada wahyu supernatural haruslah dihapus. Misalnya, bahwa alasan bangsa Yunani kuno mengikuti Sepuluh Perintah (Ten Commandements) adalah karena sesungguhnya perinah itu diturunkan oleh Tuhan. Hanya penjelasn-penjelasan natural sajalah yang menurut keduanya secara serius bisa dipertimbangkan.
Keduanya, mengumpulkan contoh-contoh perilkau dari setiap budaya di dunia dab jadinya tampakya secara ideal cocok dengan tujuan membingkai sesuatu yang besar sebagai sebuah teori agama.
2. Evolusi dan teori asal-usul
Mereka sama-sama sangat berkomitmen untuk menjelaskan agama utamanya dari konteks asal-usul pra sejarahnya, masa awalnya di periode-periode yang sangat lampau dan evolusi gardualnya hingga pada bentuk masa kini di abad-abad kemudian. Keduanya pun percaya bahwa cara terbaik ketika ingin menjelaskan agama adalah dengan menemukan bagaimana agama dimulai, dengan mengamatinya dalam bentuk yang paling awal dan sederhana, dan kemudian dengan mengikuti, menapaktilasi perjalanannya dari awal hingga masa sekarang.
Menurutnya, agama telah berkembang dalam seperangkat lingkungan yang dijumpai oleh semua masyarakat pra sejarah. Lebih jauh, setelah berkembang di masa lampau, agama telah mulai memperlihatkan statusnya, bersamaan dengan klaim kebenaran dan kemanfaatannya, berubah secara signifikan sepanjang proses evolusi intelektualnya.
Mereka berpendapat bahwa manusia secara perlahan, tapi pasti, memperbaiki diri mereka dengan menciptakan komunitas-komunitas yang lebih beradab.
3. intelektualisme dan indivualisme
pada umumnya setiapbentuk teoritis saat ini, menurut Pals, sering merujuk kepada konsep-konsep Tylor dan Frazer sebagai pendukung terhadap sebuah pendekatan ”intelektualis” bagi agama. Hal ini, karena keduanya sepakat memikirkan agama sebagai permulaan dari semua bentuk keyakinan, gagasan-gagasan yang manusia kembangkan untuk menjelaskan apa yang mereka temukan di dunia.

Emile Durkheim

Durkheim mengklaim bhwa masyarakat primitif normalnya tidak secara sungguh-sungguh memikiekan dua dunia yang berbeda, dimana yang satu dikatakan natural dan sementara yang lain dikatakan supernatural.
Bisa dikatakan bahea masyarakat modern utamanya dipengaruhi oleh berbagai asumsi dan hukum-hukum sains tentang alam; namun tidak demikian pada masyarakat primitif. Masyarakat modern melihat semua peristiwa –yang mengandung mukjizat atau biasa saja –pada dasarnya dengan jenis yang sama. Konsep dewa-dewa sendiri juga mengandung masalah, karena tidak semua komunitas keagamaan percaya dengan wujud-wujud ketuhanan meski mereka betul-betul percaya dengan supernatural.
Durkheim kemudian mengobservasi bahwa sesuatu yang tampaknya karakteristik sejati keyakinan dan ritual agama bukanlah elemen dari supernatural, namun konsep dari yang sakral (the sacred). Untuk itu, menurutnya, yang menjadi folus agama secara kesluruhan adalah pada yang pertama (the sacred). Dia mengingatkan bahwa tidak salah memahami, memikirkan bahwa pembagian the sacred adalah kebaikan dan profane adalah kejahatan. The sacred bisa jadi suatu kebaikan ataui keburukan, namun yang pasti bahwa ia tidak akan pernah menjadi profane, dan begitu juga sebaiknya. Penekanan kepada yang sacred sebagai sesuatu yang komunal ini membuat Durkheim tidak sepakat dengan para pendahuluannya, yang memusatkan perhatian kepada pertanyaan teka-teki mengenai magic.
Ras manusia pertama kali mengikuti aturan-aturan magic, dan kemudian karena gagal, maka beralih dengan menjadikan agama sebagai bentuk pemikirannya yang baik. Dia tidak setuju, karena baginya agama tidak muncul untuk menggantikan magic karena keduanya fokus kepada hal yang berbeda. Alasanya, karena magic itu berurusan dengan masalah privasi yang eksklusif, yang sedikit atau tidak sama sekali berkaitan dengan yang sacred.

Studi atas Pemikiran Durkheim

o Masyarakat dan Agama

Menurutnya, agama adalah sesuatu yang sangat bersifat sosial (religion is something emintly social). Karena, meskipun dalam kapasitasnya sebagai indiviual membuat berbagai pilihan didalam hidup, dalam bingkai sosial sebagai sebuah anugrah bagi kita sejak lahir. Agama dalam semua kebudayaan adalah bagian peninggalan masyarakat yang paling bernilai.
o Metode Ilmiah
Dia tampak jelas dengan menggunaan metode ilmiah. Seperti, mengumpulkan data, membandingkan, mengkalsifikasi, dan membuat generalisasi untuk kemudian memberikan suatu penjelasan menyeluruh atasnya. Durkheim tampaknya setuju bahwa tempat terbaik untuk memulai adalah dengan budaya-budaya yang sederhana –yang disebut dengan masyarakat primitif.
o Ritual dan Kepercayaan
Durkheim dangat berpisah jarak dari cara-cara yang sebagaimana digunakan oleh Tylor dan frazer dalam mempertanyakan hubungan antara ritual dengan keyakinan kegamaan. Pendekatan intelektualis mereka bertahan pada keyakinan dan ide mengenai dunia adalah elemen-elemen primer dalam kehidupan keagamaan. Praktek-praktek-praktek keagamaan –adat dan ritualnya –tampaknya menjadi bersifat sekunder; mereka ikut kepada keyakinan dan bergantung kepadanya. Dalam pemikirannya, ritual-ritual agama memiliki prioritas. Ritual-lah yang menjadi dasar dan sebenarnya menciptakan keyakinan-keyakinan yang menyertainya.
o Penjelasan Bercorak Fungsional
Dalam menjelaskan agama Durkheim berpikir bahwa dia bisa beranjak ke bawah permukaan berbagai hal. Sedangkan, Tylor dan Frazer menjelaskan agama sebagai yang tampak. Merujuk kepada sisi spekulatif Durkheim mengenai agama, ia memberikan penjelasan pentingnya ide dan keyakinan adalah kunci untuk menjelaskan buday-budaya lain.

E.E. Evans-Pritchard

Pendekatannya terhadap antropologi –dan konsekuensinya terhadap agama sepenuhnya dibentuk dari tiga tradisi yang lebih awal. Tradisi aeal bisa disebut sebagai antropologi Victorian yang lebih tua, kedua adalah sosiologi Prancis, dan yang terakhir adalah mahzab antropologi lapangan British yang lebih baru.
Dia banyak terobsesi oleh pemikiran sosiologi di Perancis. Tradisi Perancis dalam memahami masalah manusia dari prespektif sosialnya merujuk kepada periode sebelum masa Revolusi. Dan serta menjelaskan secara jelas bahwa kehidupan sosial manusia, yang mencakup agama, tidak pernah bisa dipahami hanya sekedar sebagai apa yang para individu pikirkan dan kerjakan.

Mircea Eliade

Salah satu prinsip pertama yang melekat pada Eliade adalah pendirian yang kuat pada reduksionisme. Dia percaya dengan kuat akan independensi atau otonomi agama, yang baginya tak bisa dijelaskan sekedar by-product realitas yang lain. Baginya, suatu fenomena kegamaan adalah hanya akan bisa diakui sebagaimana mestinya jika ia pahami pada levelnya sendiri, yaitu jika ia dikaji sebagai sesuatu yang religious. Untuk berusaha memahami esensi fenomena, seperti itu dengan instrumen fisiologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, linguistik, seni adalah hal yang salah; ia menghilangkan hal yang unik, dan yang kompleks (irreducible) didalamnya –elemen yang sakral. Kemudian, prinsip kedua diaplikasikan dalam metode. Jika kenyataannya, agama adalah sesuatu yang independen, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara murni melalui psikologi atau sosiologi.

Konsep Agama versi Eliade

Dalam bukunya yang berjudul ”The Scared and The Profane” memberikan penjelasan singkat bahwa dalam memahami agama, pergerakan pertama yang kita lakukan adalah mungkin yang paling penting. Maksudnya, bahwa seorang sejarawan harus melangkah keluar peradaban, modern yang hanyalah sebuah pecahan kecil dari keseluruhan kehidupan manusia yang pernah hidup dimasa pra-sejarah atau hidup didalam masyarakat kesukuan, tempat dimanan dunia kealaman. Sebuah kehidupan yang hidup dalam dua kendaraan yang berbeda; yaitu sakral dan yang profan. Profan adalah wilayah urusan sehari-hari –berbagai hal biasa dan umumnya tidak penting. Sakral adalah wilayah supernatural, berbagai hal yang luar biasa, terus diingat, dan memiliki momentum.
------------ Razak, Yusron dan Nurtawaba, Ervan. “Antropologi Agama”. UIN Jakarta Press. Jakarta:2007


Tidak ada komentar: